Tutup
Sejarah

Sampang Madura, dari Masa ke Masa

×

Sampang Madura, dari Masa ke Masa

Sebarkan artikel ini
Monumen Trunojoyo Sampang 2023
Monumen Trunojoyo Sampang 2023

Dalam skripsinya berjudul “Sampang Sebagai Pusat Pemerintahan Mataram Jaman Sultan Agung dalam Politik Mempersatukan Jawa-Madura,” Drs. Mohamad Sholeh menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raden Undakan atau Pangeran Cakraningrat II, pemerintahannya sudah diwarnai oleh gejolak politik akibat kebijakan Amangkurat I, raja Mataram pengganti Sultan Agung.

Amangkurat I selalu mengambil keputusan berdasarkan hawa nafsunya, yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan kerabat kerajaan. Pangeran Cakraningrat II, yang memegang posisi tertinggi di Madura, memiliki karakteristik yang mirip dengan Amangkurat I di Mataram.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Situasi politik di Mataram dan Madura saat itu melahirkan berbagai pemberontakan, termasuk pemberontakan Raden Tronojoyo, keturunan dari Pangeran Cakraningrat I. Meskipun pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Belanda, yang mendukung Cakraningrat II, perlawanan terhadap pemerintahan yang dituduh tirani tidak pernah meredam. Kali ini, perlawanan muncul dari rakyat Madura Timur. Akhirnya, dengan persetujuan Mataram, pusat pemerintahan Mataram di Madura dipindahkan dari Sampang ke Tojung Bangkalan.

Dalam buku “Runtuhnya Istana Mataram” karya HJ Dee Graaf, dijelaskan bahwa Raden Tronojoyo adalah putra Raden Demang Melaya, anak Cakraningrat I, dengan salah satu selir yang berasal dari Kuda Panoleh. Ia lahir di kampung Pebabaran, yang terletak di tengah-tengah kota Sampang, sebelah timur Monumen Tronojoyo Sampang.

Ketika masih sangat muda, sekitar usia tujuh tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam peristiwa pembunuhan Pangeran Sampang bersama istrinya oleh Amangkurat I. Setelah peristiwa itu, Raden Tronojoyo diasuh dan dididik oleh Sunan Amangkurat I di Mataram.

Menurut pemerhati sosial KH Sholahur Robbani SE, karakter masyarakat Madura, khususnya di Sampang, sangat menjunjung tinggi gengsi dan harga diri. Oleh karena itu, ada pepatah Madura yang mengatakan, ‘e’ tembang pote’ mata lebbi bagus pote’ tolang’ (lebih baik mati daripada menanggung malu). Namun, dalam pepatah lain, ‘Pe’re’ng e’tompok meste’ akramangan’ (piring yang ditumpuk pasti berbunyi).

Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial yang memiliki beragam watak dan karakter, setiap komponen masyarakat harus melakukan introspeksi diri dan memiliki rasa tasamuh (toleransi), ta’awwun (kerjasama), dan ta’affu (pemaafan) untuk menjaga keutuhan dan persatuan.”

Sumber: Sufiku-Sufiqadariyah