Scroll untuk baca artikel
Sejarah

Penobatan Pangeran Cakraningrat I Sebagai Momentum Hari Jadi Sampang Bagian 1

368
×

Penobatan Pangeran Cakraningrat I Sebagai Momentum Hari Jadi Sampang Bagian 1

Sebarkan artikel ini
Madegan Sampang
Madegan Sampang
PRA KERAJAAN MADURA DI SAMPANG
Suatu bentuk kekuasaan kecil yang disebut Kamituwo muncul mengawali paparan penulisan masa lalu di Sampang. Wilayah kekuasaanya kecil, sepit, jumlah penduduk sedikit, dipimpin oleh seorang yang mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat untuk mengayomi dan melindungi serta mempunyai hak turun-temurun.
Hal itu terjadi lima abad yang silam , tepatnya pada tahun 1478 Masehi di Madegan, yang sekarang menjadi perkampungan termasuk Kelurahan Polagan Kecamata Sampang secara aklamasi segenap rakyat Madegan, sepakat mengangkat Raden Ario Lembu Petteng untuk menjadi pemimpin di sana sebagai Kamituwo pertama. Beliau adalah putera raja Majapahit V, yang dating ke Madegan beserta keluarganya untuk mencari tempat aman, karena kerajaan Majapahit di taklukan raja Girindrawardhana dari kerajaan Kelling. Tempat tinggal yang dianggap aman dan cocok adalah Madegan. Beliu beradaptasi secara baik dengan masyarakat , sehingga para pemuka agama dan tokoh masyarakat sangat senang dan menghormati beliau.
Ario Lembu Petteng mengendalikan pemerintah di Madegan dengan menganut system pemerintahan desa yang pernah diselenggarakan oleh kerajaan Majapahit, sehingga tidak menemui kesulitan berarti dalam memimpin rakyat Madegan.
Raden ario Lembu Petteng kemudian pindah ke Ampel Surabaya, untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menetap di gantikan puteranya, berturut-turut Raden ario Menger, Raden Ario Pratikel, dan terakhir dijabat oleh menantunya , Raden ario Pojok, keturunan Raden ario Menak senoyo dari Proppo Jamburingi.
Pergantian kekuasaan secara turun temurun terus berlanjut dan daerah kekuasaannya bertambah luas ke seluruh Sampang. Pemerintahan selanjutnya di pimpin oleh sorang adipati yang masih keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Jabatan adipati pada masa itu statusnya sama dengan kepala pemerintahan atau raja yang menguasai kerajaan kecil. Seorang adipati dapat bertindak sebagai raja yang berkuasa penuh di daerah yang dikuasainya dan jika menghendaki dapat memperluas pengaruhnya ke daerah lain.
Pemerintahan selanjutnya berturut-turut dijabat oleh Adipati Pramono, Pangeran Bonorogo, Pangeran Sindhing Gili, Raden Pamadekan dan terakhir Adipati Mertosari yang merangkap penguasa Proppo Jamburingin, Namun rupa-rupanya Adipati Mertosari dan raja-raja Madura, mendapat tantangan yang amat berat dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya karena tidak beberapa lama Sultan agung, raja Mataram telah memerintahkan kepada panglima perangnya agar semua keraan yang ada di Madura di gusur habis-habisan dan jangan ada satupun di antara raja-raja Madura yang masih hidup.
Tugasnya di awal tahun 1624, Sampang dan kerajaan-kerajaan di seluruh Madura di babat habis. Pangeran Mertosari penguasa Sampang, Pangeran Purbaya penguasa Pamekasan, Pangeran Jimat dan ayahnya Penembahan Ronggo Sukowati gugur dalam pertempuran. Pangeran Cokronegoro I penguasa Sumenep, Pangeran Blega penguasa Blega berusaha melarikan diri dari kejaran pasukan Mataram. Mereka tertangkap dan di bunuh. Demekian pula Pangeran Mas penguasa Arosbaya menyingkir dari pertempuran, menuju Banten untuk meminta perlindungan dari Sultan Banten. Mendengar bahwa Pangeran Mas berada di sana, Sultan Agung meminta Sultan Banten untuk menyerahkan Pangeran Mas. Saat itu juga Pangeran Mas digiring ke Mataram. Setiba di Mataram, Pangeran Mas langsung di bunuh.Sumber: Hosnanijatun