Scroll untuk baca artikel
Sejarah

Penelusuran Hari Jadi Kota Sampang Butuh Waktu 20 Tahun

483
×

Penelusuran Hari Jadi Kota Sampang Butuh Waktu 20 Tahun

Sebarkan artikel ini
Alun-Alun Trunojoyo
Alun-Alun Trunojoyo

Hasilnya, para pakar sejarah sepakat dan memutuskan Hari Jadi Kabupaten Sampang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal atau tanggal 23 Desember 1624 Masehi yang bertepatan dengan Grebek Maulid Kerajaan Mataram. Momentum tersebut merupakan hari pengangkatan dan pelantikan Raden Praseno yang bergelar Pangeran Cakraningrat I oleh Raja Mataram Sultan Agung, sebagai penguasa Madura Barat yang berkedudukan di Sampang.

Hasil seminar tersebut kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Bupati Sampang Nomor: 203A Tahun 1994 dan Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten Sampang Nomor: 12 Tahun 1994. Sedangkan penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang ditetapkan melalui SK Bupati Sampang Nomor: 188.45/286/KEP/434.013/2004.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Situs Rato Ebuh Jadi Acuan

Munculnya kembali keinginan mengangkat warisan budaya nenek moyang, berangkat dari keinginan untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Penentuannya pun memerlukan beberapa referensi berupa batu bertulis (prasasti). Termasuk, pitutur atau legenda masyarakat.

Menurut Tim Perencana Penelusuran dan Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang, Drs H Ali Daud Bey, referensi-referensi tersebut merupakan bukti sejarah yang paling akurat dan bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang.

Sangkala Memet yang terdapat di situs Sumur Dhaksan di Jalan Syuhadak Kelurahan Dalpenang menjadi prasasti yang pertama. Di situs itulah, ditemukan Candra Sangkala atau angka tahun Saka (C,) yang berbunyi: “Kudo Kalih Ngrangsang Ing Butho”.

Seorang ahli sansekerta menafsirkan, situs Sumur Dhaksan dibuat sekitar tahun 757 C, yang bertepatan dengan tahun 835 Masehi. Berarti, situs tersebut dibuat jauh sebelum berdirinya Dinasti Syailendra.

“Saat itu, di Sampang sudah ada komunitas masyarakat yang berstruktur dan memiliki padepokan agama Hindu-Budha,” terangnya.

Berdasarkan penjelasan Direktorat Sejarah dan Kepurbakalaan Depdikbud RI, pada jaman itu padepokan tersebut merupakan tempat untuk menggodok kerohanian masyarakat.

Prasasti kedua adalah Sangkala Memet pada situs Buju’ Nandi di Desa Kemoning, Kecamatan Kota Sampang. Pada prasasti tersebut, tertulis Negara Gata Bhuana Agong atau 1301 C, yang bertepatan dengan tahun 1379 Masehi. Sangkala Memet tersebut diperkirakan bekas peninggalan padepokan Hindu-Budha.

Sedangkan prasasti yang ketiga adalah prasasti Bangsacara yang terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak atau candi belum jadi yang tertulis angka 1305 C, atau bertepatan dengan tahun 1383 Masehi.

“Konon, di daerah ini juga sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yang kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur atau legenda masyarakat setempat,” terangnya.

Prasasti yang keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yang merupakan paman Raden Praseno atau Pangeran Cakraningrat I yang menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, atau tahun 1574 Masehi.

Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yang juga terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi “Naga Kapaneh Titis Ing Midi” yang dibuat pada tahun 1545 C, atau tahun 1624 Masehi yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.

Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang di undang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.

Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tidak ada bukti atau referensi kepustakaan otentik yang mendukung.

Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda, HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tidak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.

“Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yang ditetapkan sebagai acuan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang,” jelas Ali Daud Bey.

Grebeg Maulid Simbol Hari Jadi

Dibandingkan referensi yang lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dengan daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.

DALAM bukunya De Op Komst Van R Trunojoyo (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yang bertepatan dengan 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yang bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yang kerajaannya dipusatkan di Sampang.

De Graff menerangkan, dalam surat titahnya, Sultan Agung juga menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.

Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yang cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.

Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran Cakraningrat I dengan melakukan kegiatan Gebreg Maulid.

Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dengan Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yang saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.

Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat.

Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untuk mengawal Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya, Pangeran Santo Merto.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya Pangeran Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan Pangeran Pekik yang merongrong kepemimpinan Sultan Agung.

Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada Sultan Amangkurat.

Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pada jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada Raden Nila Prawita atau Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat II.

Karena tidak terima dengan keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ini dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.

Merasa tidak aman dengan ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.

Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yang berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.

Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Panembahan Maduretno.

Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tidak bersedia memutuskan kerjasama dengan Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.

Selama menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat, Pangeran Trunojoyo meninggalkan monumen bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sampang. Diantaranya adalah Monumen Trunojoyo yang dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan

Madura Barat.

Sampai saat ini, Monumen Pebabaran sebagai tempat kelahiran Pangeran Trunojoyo yang terlokasi di Jalan Pahlawan Gg VIII Kota Sampang masih terawat dengan baik. Menurut legenda masyarakat setempat, di lokasi inilah ari-ari pahlawan rakyat Madura tersebut ditanam oleh kedua orangtuanya.

(TAUFIQ RIZQON)