Scroll untuk baca artikel
SejarahSeni

Tradisi Rokat Gumbak Kabupaten Sampang

657
×

Tradisi Rokat Gumbak Kabupaten Sampang

Sebarkan artikel ini
Tradisi Gumbak Senjata Pusaka - Sampang Foto by Gerbang Pulau Madura
Tradisi Gumbak Senjata Pusaka - Sampang Foto by Gerbang Pulau Madura

Kata “gumbak” dalam bahasa Madura berati mengaduk-aduk air kolam (sungai) sehingga menimbulkan ombak atau gelombang. Selanjutnya istilah ”gumbak” yang terkait dengan upacara sakral di desa Banjar (Kecamatan Kedungdung) berhubungan dengan tradisi ”baceman” yang artinya membersihkan dan mensucikan pusaka (senjata tradisional). Senjata tradisional yang dimaksudkan berjumlah 24 senjata / pusaka

Kapankah tradisi ini dicetuskan, tidak ada orang yang mengetahui secara pasti. Konon diyakini oleh masyarakatnya bahwa tradisi ini telah berlangsung ratusan tahun lamanya, bahkan ada yang meyakini telah berlangsung dua abad lamanya. Dua orang tokoh sakti yang namanya selalu disebut-sebut ialah Buju’ Toban dan Buju’ Bung Kenek. Berasal dari manakah dua orang tokoh yang dimitoskan sakti tersebut, juga tidak di ketahui secara pasti. Masyarakat mayakini kedua tokoh sakti tersebut berasal dan Banjar (wilayah Kalimantan), yakni tokoh pelarian perang pada tempo dulu yang akhimya menetap di desa tersebut (desa Banjar) Kecamatan Kedungdung.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Kedua tokoh tersebut dikenal ahli membuat senjata sakti, dengan bahan baku tanah Iiat (lempung) Karena kesaktiannya, dan mantra-mantra yang dimilikinya maka senjata atau tersebut menjadi amat kuat, dapat digunakan untuk berburu binatang buas dan dapat pula untuk melindungi warga masyarakat bila ada musuh atau gangguan binatang buas. Bentuk senjata (pusaka) tradisional itu amat beragam, misalnya berbentuk tombak, clurit, pedang, linggis dan pisau bermata dua.

Jumlah senjata tradisional itu semula sebanyak 50, tetapi yang tersisa pada tangan anak cucu kedua tokoh tersebut hanya 24 senjata. Ke manakah raibnya yang lain (26 senjata)? Tampaknya warga masyarakat tidak ada yang mengetahuinya. Nama-nama ke-24 senjata tersebut sebagai berikut :

  • 1. Si Jelik (senjata wanita)
  • 2. Si Klaras
  • 3. Si Gungseng
  • 4. Si Rajang
  • 5. Si Olak Semenit
  • 6. Si Kedik
  • 7. Si Cale’ Kettong
  • 8. Si Mardha
  • 9. Si Bajjar
  • 10. Si Berak
  • 11. Si Burnang
  • 12. Si Pecat
  • 13. Si Kepet
  • 14. Si Grimis
  • 15. Si Garsot
  • 16. Si Nyelo
  • 17. Si Guntur
  • 18. Si Garuk
  • 19. Si Patel
  • 20. Si Blarang
  • 21. Si Peddis
  • 22. Si Bellis

Catatan narasumber hanya disebut 22 nama senjata
Senjata tersebut merupakan warisan budaya dan warisan keluarga anak cucu kedua tokoh tersebut. Berdasarkan wasiat lisan leluhurnya, senjata tradisional tersebut tidak diperkenankan untuk dipindah-tangankan (dijual atau dimiliki orang lain yang bukan keturunannya). Sampai sekarang ini, senjata tersebut tetap disimpan di belakang Masjid Banjar.

Upacara gumbak dilaksanakan bersamaan dengan upacara bersih desa, setahun sekali. Pada masa tertentu, misalnya kemarau panjang, upacara ini dapat dilaksanakan sambil melaksanakan Shalat Istisqa’. Tujuan upacara tersebut untuk mengucapkan syukur kepada Allah SWT, dan memohon agar desa tersebut diberi kesuburan tanah, kemakmuran dan ketentraman. Tempat upacara secara rutin telah ditetapkan yaitu di Buju’ Tenggina, tanah Galis atau tanah paokalan (tanah tempat pertarungan pendekar). Pendekar yang memenangkan pertarungan di Paokalan dinyatakan sebagai patriot pembela/penjaga keamanan desa di Buju’ Toban, Buju’ Bundaya dan Buju’ Banjar. (Bahasa Madura okol = pertarungan bela diri / semacam olah raga bela diri).
Perlengkapan Upacara

Tumpeng lengkap (dengan ubarampe/perlengkapan tertentu)
Senjata pusaka gumbak yang berjumlah 24 macam.
Kambing hitam berkaki putih (upacara korban).
Alat pemukul untuk pertarungan bela diri (Okolan) atau alas pertarungan di antara dua tokoh/satria.
Seperangkat gamelan (pengiring upacara).
mbul-umbul (pads mass sekarang ditambah pengeras suara).
Dupa / kemenyan.
Air Bunga.

Pelaksanaan upacara di atas dipimpin oleh tokoh masyarakat / pemuka agama. Biasanya sebelum upacara diadakan pembacaan Khatmil Qur’an / Khatam Al Qur’an, dalam rangkaian memohon ampunan dan ridho dari Yang Maha Kuasa Allah SWT.

Penyelenggaraan Upacara (Tata Urut Upacara).

1. Tahap Awal, Acara Gundeggan
Pada tahap awal adalah kegiatan mengundang segenap tokoh masyarakat, warga desa dan tokoh ulama untuk mengadakan persiapan upacara. Musyawarah ini diadakan di tanah Galis (tempat paokolan). Persiapan pemberangkatan dlikuti oleh sejumlah remaja putri desa, warga masyarakat dan tokoh ulama dari masing-masing pedukuhan.

2. Tahap Rerembagan
Pada tahap rerembagan adalah tahap musyawarah yang secara rutin diadakan di tanah Galis. Masalah yang mereka bahas meliputi persiapan upacara. Perlengkapan upacara, tujuan untuk melestarikan tradisi Radat Gumbak.

3. Tahap Korbanan
Korbanan adalah acara penyembelihan kambing hitam mulus yang berkaki putih. Tempat pengorbanan kambing di tanah Galis (sesudah musyawarah). Daging kambing korban dibagi-bagikan ke segenap warga desa, selanjutnya daging ditanam di depan rumah (halaman rumah). Difungsikan sebagai penolak bala’. Selanjutnya demi kemakmuran, warga desa mengisi kas/keuangan desa.

4. Tahap Okolan / Pertarungan Tokoh.
Kegiatan bela diri atau Okolan ini untuk menetapkan satria / tokoh pembela keamanan desa. Tokoh bela diri (okolan) ini sering menjadl “gandrungan” atau idola remaja putri desa. Okolan diakhiri dengan pengalungan ketupat bagi tokoh yang telah dikalahkan.

5. Tahap Tafakkuran dan Taqarruban.
Upacara sakral diikuti oleh seluruh warga, dipimpin oleh tokoh ulama yakni melaksanakan dzikir dan do’a-do’a. Dalam upacara ini situasi amat hening, khidmat dan khusuk agar memperoleh limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, serta warga desa Banjar memperoleh ampunan atas dosa-dosanya. Seusai do’a, tumpeng dibagi-bagikan kepada segenap warga yang menghadiri upacara Rokat – Gumbak.

6. Upacara Bacemman
Bacemman adalah penyucian (pensucian) dan pembersian senjata tradisional (pusaka) yang berjumlah 24 macam. Masing-masing senjata dicuci, diasapi dengan kemenyan/dupa, dan dibawa berkeliling di tempat upacara sambil meliuk-liukkan badan, dengan iringan “Tabbuwan Calo’ (tabuhan mulut/ lisan)” kemudian dilanjutkan dengan “tarian kenca”. Pada waktu itu para ulama dipersilahkan meninggalkan tempat upacara.

7. Terbangan
Sebagai upacara tahap akhir acara hiburan, dengan musik rebana yang lebih populer dengan sebutan musik rebana yang lebih populer dengan sebutan “terbangan”, atau tarian “Hadrah Jidhor”. Seusai dari tanah Galis menuju ke tempat penyimpanan pusaka (rumah dibelakang masjid Banjar).

Demikian Upacara dinyatakan paripurna.

Oleh : Bangkalan Memory