Seni

Topeng Dalang Madura

2145
Tari Topeng Kaliwungu. Foto: analyana.blogspot.com
Tari Topeng Kaliwungu. Foto: analyana.blogspot.com

Konon, topeng dikatakan sebagai bentuk kesenian yang paling tua, karena topeng pada masa lalu dipergunakan oleh penganut animisme dan Hinduisme ketika menghadapi situasi mengkhawatirkan, seperti bencana alam atau penyakit. Pada masa tersebut, topeng digunakan sebagai alat komunikasi dengan alam gaib, para penguasa alam lain, dan roh-roh nenek moyang. Pementasan Topeng pada masa itu dimaksudkan untuk mencapai perdamaian dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan mereka.

Selain Ludruk, topeng adalah bentuk teater rakyat yang paling populer di pulau Madura. Menurut Babad Madura yang ditulis pada abad ke-19, topeng dalang pertama kali dikembangkan pada abad ke-15 di desa Proppo, kerajaan Jambwaringin, Pamekasan, pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya. Prabu Menak Senaya adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan topeng di wilayah Madura, dan bukti keberadaan topeng di daerah Proppo sangatlah banyak. Model pembuatan topeng (disebut “tatopong” dalam bahasa Madura) mengambil figur tokoh-tokoh pewayangan.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Dalam sejarahnya, topeng Madura memiliki hubungan erat dengan kerajaan Majapahit dan Singosari, yang membuatnya merupakan kelanjutan dari teater topeng di kedua kerajaan Jawa Timur tersebut. Seiring dengan masuknya agama Islam ke Madura, cerita-cerita yang dipentaskan mulai mencerminkan nilai-nilai spiritual, moral, dan filosofis yang berlandaskan ajaran Islam. Bentuk-bentuk penggarapan topeng pun mulai diubah, dengan menekankan kesederhanaan sebagai karakteristiknya.

Pada abad ke-18, topeng dalang yang awalnya merupakan seni pertunjukan rakyat diangkat menjadi kesenian istana. Dalam lingkungan istana, topeng mengalami modifikasi, dengan perhatian khusus pada bentuk dan kehalusan ukiran, seni musik karawitan, serta pelaksanaan pementasan. Ini juga menjadi masa berkembangnya sastra Madura. Hubungan yang semakin erat antara raja Madura dengan kerajaan Mataram juga memberikan pengaruh besar, terutama pada kehalusan ukiran topeng.

Pada abad ke-20, setelah kerajaan-kerajaan di Madura mulai menghilang, topeng dalang kembali menjadi seni pertunjukan rakyat dan mencapai puncak popularitasnya hingga tahun 1960-an. Namun, pada tahun 1960-an, seni topeng dalang mengalami penurunan karena banyak tokoh-tokoh topeng yang meninggal dunia, sementara generasi muda belum muncul untuk meneruskan tradisi tersebut.

Pada tahun 1970-an, seni topeng dalang Madura kembali bangkit berkat usaha seorang dalang tua bernama Sabidin dari Sumenep. Sabidin tetap mempertahankan dan mengajarkan seni topeng dalang kepada generasi muda dari berbagai daerah di wilayah Sumenep. Karyanya berhasil memelihara dan menghidupkan kembali seni topeng dalang.

Karakteristik topeng dalang Madura sangat khas. Topeng-topeng ini biasanya lebih kecil ukurannya, kecuali topeng Semar. Selain itu, hiasan bunga melati adalah ragam hias yang paling populer pada topeng-topeng Madura. Topeng ini juga dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu yang berukuran sebesar telapak tangan dan yang lebih besar. Sebagian besar topeng Madura tidak menutup sepenuhnya wajah penari, sehingga gerakan dagu mereka terlihat dan memberikan nilai estetik tersendiri.

Warna topeng juga memiliki makna tersendiri. Putih digunakan untuk tokoh yang bersih dan jujur, merah untuk tokoh yang tenang dan penuh kasih sayang, hitam untuk tokoh yang bijaksana dan bersih dari nafsu duniawi, dan kuning emas untuk tokoh yang anggun dan berwibawa. Topeng Madura juga ditambahkan dengan ghungseng (giring-giring) pada pergelangan kaki penari, yang memberikan nilai ekspresif dan menjadi alat komunikasi di antara mereka.

Topeng dalang Madura memiliki alat musik gamelan sebagai pengiring, yang juga dilengkapi dengan ghungseng yang dipakai oleh dalang sebagai kode perubahan gerakan dalam cerita. Selama pertunjukan, suara ghungseng memberikan nuansa magis yang membangun suasana yang sesuai dengan cerita, baik yang sedih, gembira, atau tegang.

Cerita-cerita yang dipentaskan dalam topeng dalang Madura awalnya mengambil kisah Panji atau Damar Wulan. Namun, seiring perkembangannya, cerita-cerita dari epik Ramayana dan Mahabharata menjadi lebih dominan. Kisah-kisah ini mengandung banyak konflik dan pertentangan, yang memungkinkan untuk menggambarkan nilai-nilai moral, filosofis, dan spiritual. Sebagai media dakwah, tokoh-tokoh baru diciptakan dan nilai-nilai Islam ditanamkan dalam cerita-cerita tersebut. Hal ini menjadikan topeng dalang Madura memiliki daya tarik dan pesan moral yang kuat.

Namun, sayangnya, topeng dalang Madura mulai kehilangan popularitasnya di kalangan masyarakat kota. Banyak yang menganggapnya ketinggalan zaman, dan pertunjukan ini lebih sering diundang oleh masyarakat di pinggiran yang masih peduli dan mencintai seni topeng dalang. Meskipun demikian, beberapa kelompok komunitas masih berusaha untuk melestarikan seni ini.

Seni topeng dalang Madura adalah warisan budaya yang kaya, penuh dengan nilai-nilai moral, spiritualitas, dan tradisi yang harus dipertahankan. Meskipun mungkin tidak lagi begitu populer seperti dulu, seni ini tetap hidup di hati dan usaha para pelestari seni tradisional ini. Sebuah perjalanan panjang yang layak untuk dihargai dan dijaga agar tetap hidup di generasi mendatang.

Exit mobile version