Berbicara tentang garam, yang terbersit tentu rasa asin karena kita berpikir dengan rasa. Kalau sudah melibatkan rasa, maka yang paling utama adalah kepekaan lidah. Bahkan lidahpun punya spesifikasi khusus dimana hanya bagian sisi pinggir bagian depan saja yang peka terhadap rasa asinnya garam. Ini kenyataan, meski sebenarnya garam adalah komoditas masyarakat dengan potensi yang besar dan terbentang di depan mata, namun adalah kebetulan jika dihubungkan dengan kepekaan lidah manusia, tetap saja menjadi komoditas pinggiran yang dipandang sebelah mata. Jika rasa manis berada di ujung depan lidah, maka rasa asin cukuplah disisinya. Bahkan sampai-sampai, jika harga gula yang manis meroket, buru-buru pemerintah melakukan operasi pasar untuk menetralisir harga yang melonjak. Tapi kalau garam harganya melonjak bagaimana ? Sepertinya itu masih jadi impian yang harus segera diwujudkan.
Meski garam itu sendiri adalah komoditi yang akan selalu dibutuhkan manusia seperti halnya kebutuhan manusia akan makanan. Peran garam dalam sisi ekonomis masih dikesampingkan. Mungkin karena termasuk “bulk commodity” yang murah harganya sehingga kadang disepelekan leh sebagian kalangan masyarakat. Padahal, fungsi garam untuk konsumsi itu sendiri tidak dapat digantikan bahkan sekaipun oleh gula. Oleh karena itu, sifat garam menjadi sensitif dan layak diposisikan sebagai komoditi strategis.
Jika kita mau jujur, sebenarnya katagori garam sebagai industri yang strategis tidaklah berlebihan. Sebut saja selain untuk keperluan konsumsi rumah tangga, garam dibutuhkan juga oleh industri tertentu, baik sebagai bahan baku maupun penolong. Industri pengguna garam terbesar adalah industri chlor alkali, yang pada tahun 2009 kebutuhannya mencapai 1.560.000 ton. Selain industri khlor alkali, garam juga digunakan untuk pengasinan ikan, industri-industri makanan, tekstil, penyamakan kulit, garam mandi/spa, perminyakan, farmasi dan perkebunan.Total kebutuhan garam diluar garam konsumsi pada tahun 2009 berjumlah sekitar 2.395.000 ton. Dengan demikian maka total kebutuhan nasional pada tahun tersebut berjumlah 2.888.000 ton. Ini sungguh sangat srategis mengingat bahwa luas perairan kita 2/3nya adalah lautan yang notabene merupakan sumberbahan baku pembuatan garam.
Sayangnya, karena termasuk sebagai komoditas yang murah maka sejulah kebijakan pada akhirnya malah tidak mampu mengangkat harkat dan derajat para petani atau petambak garam. Bahkan harga garam ditingkat produsen tradisional perkilogramnya masih berkutat pada kisaran Rp. 350,- jika lagi panen besar. Namun harga tersebut dapat meroket menjadi Rp. 500,- jika garam sulit didapatkan dari petani/petambak. Ironis memang, dengan lahan 3,5 Ha tambak garam, pertahunnya cuma bisa panen rata-rata 70 karung zak pupuk atau setara dengan 7 ton. Itupun jika cuaca mendukung dengan tingkat panas matahari yang cukup sepanjang musim kemarau. Jadi jangan disamaratakan dengan pola kebutuha petani di sawah yang bercocok tanam di musim penghujan karena petambak garam hanya bisa berproduksi pada musim kemarau.
“Ya begini pak, saya pikir apa yang telah saya lakukan sudah maksimal, jadi tak mungkinlah untuk menaikkan produksi dengan luas lahan yang sama”. Ini adalah ungkapan keterbatasan sosok petani garam di Sampang Madura yang berada dalam keterbatasan dan hanya tergantung pada alam. Apalagi jka dihubungkan dengan cuaca ekstrim sepanjang tahun 2010 ini, beban petambak garam semakin berat karena bisa jadi garam yang akan dipanen tak dapat diambil hasilnya karena tiba-tiba turun hujan, Pupuslah sudah riwayat cita-cita untuk merubah nasib. menunjang dan mendukung seta mendorong mereka para petambak garam tradisional untuk dapat selalau mampu dan mau merubah sikap dan perilaku yang selalu tergantung pada alam dengan sifat keterbatasannya agar lebih berdaya dan justru mampu memanfaatkan alam, ilmu serta teknologi untuk dapat melakukan optimalisasi produksi.
Satu hal lagi yang patut kita pikirkan adalah pola pikir mereka para petambak garam yang merasakan bahwa apa yang mereka lakukan sudah maksimal dan tak mungkin menambah produksi lagi di lahan mereka karena keterbatasan ruang dan sifat dari bahan baku garam itu sendiri. Katakanlah kita ingin mereka lebih banyak memanfaatkan sir laut yang dialirkan kebak penampungan pembuatan garam agar lebih banyak air laut yang dapat diproses untuk menjadi garam, maka yang terjadi adalah justru garam akan sulit terbentuk jika mempercepat alur proses produksi secara tradisional ini. Meskipun demikian, sebenarnya mereka sudah banyak mengembangkan pola alur proses produksi garam. Hal ini bisa dilihat dengan adanya penggunaan kincir angin untuk memasukkan air laut ke bak penampungan dan mengalirkannya pada petak-petak proses penuaan air laut dengan tingkat salinitas yang semakin tinggi. Sampai akhirnya mengkristal menjadi butiran garam.
Pada akhirnya, peran pemerintah jelas sangat dibutuhkan untuk mendorong dan memacunya menjadi pelaku usaha petambak garam yang lebih mampu mengembangkan pola dan perilaku untuk melakukan optimalisasi produksi melalui program pengembangan kawasan Minapolitan garam yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masih banyak cara yang dapat dimanfaatkan dalam mengemban kebijakan strategis ini. Baik melalui pemberdayaan dengan optimalisasi sarana dan prasarana tambak, alih teknologi tepat guna dan bimbingan serta pelatihan yang merupakan struktur inti dalam mengembangkan produktifitas sebagai pokok utama dalam meningkatkan produksi garam. Tidak hanya pemberian bantuan teknis tetapi yang lebih penting adalah mengubah pola dan perilaku untuk dapat menerima perubahan ilmu dan teknologi yang dapat dimanfaatkan secara bijak, mudah dan tepat guna dengan biaya yang relatif murah.
Akankah hal ini dapat tercapai? Tentu saja kita masih memerlukan banyak strategi baru melalui inovasi baik dengan penelitian, perekayasaan dan pengkajian yang lebih mendalam untuk dapat meningkatkan produksi tanpa merusak lingkungan dengan mengedepankan sosio kultur budaya masyarakat setempat. Mengapa demikian? Karena hal paling sulit adalah mengubah sikap petambak garam dan bukan hanya pengetahuan dan keterampilannya. Membawa mereka lebih maju, mendorong mereka untuk lebih mandiri dan memupuk keinginan untuk berpikir secara luas adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah daerah dan pelaku usaha itu sendiri.
Pengembangan kualitas SDM menjadi pemicu bagi pertumbuhan produksi garam. Hal ini disebabkan potensi perairan dan luas lahan yang ada. Meski berdasarkan data yang ada dari seluruh pantai di Indonesia hanya 34.000 ha yang potensial untuk lahan penggaraman. Teryata dengan SdM yang ada pada saat ini baru sekitar 19.000 ha (56%) yang efektif dipakai untuk produksi garam.. Luas tambak garam ini tersebar di Jawa Timur, khususnya Madura seluas 11.867 ha (60,4%), Jawa Tengah seluas 2.748 ha (14%), Jawa Barat seluas 1.716 ha (8,7%), NTB dan Sulawesi Selatan masing-masing sedikit diatas 1.000 ha (masing-masing 0,5%), dan sisanya di NTT dan Sulawesi Tengah.
Masalah terakhir setelah produksi meningkat, perlu dipikirkan sistem pemasaran garam yang lebih transparan, mengedapankan kualitas mutu produk dan optimalisasi harga di tingkat petani dengan standar harga terendah yang disesuaikan dengan pola permintaan pasar terbuka. Kita tidak hanya bertanggungjawab untuk meningkatkan produksi tetapi juga harus mampu menselaraskan program pengembangan kawasan minapolitan garam yang seiring dengan peningkatan permintaan garam di pasar bebas dengan segala macam peruntukkanya. Akhirnya apa yang menjadi pola pikir Hasan sang petani tambak garam akan dapat diarahkan dan diakomodir dalam bentuk pemberdayaan dan pengembangan SDM pelaku usaha garam secara efektif dan efisien.
Oleh : Achmad Subijakto, A.Pi., MP
Foto : rotanindonesia.org
Judul asli : GARAM TRADISIONAL DI MATA HASAN SAMPANG MADURA
Sumber : Hasil identifikasi kebutuhan pengembangan SDM garam di Madura, 2010