Tutup
Budaya

Tan-pangantanan, Tradisi Anak Madura yang Terlupakan

×

Tan-pangantanan, Tradisi Anak Madura yang Terlupakan

Sebarkan artikel ini
    Tradisi Tan Pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh anak-anak di kala senggang. Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah. Mereka biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang terdiri dari kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua kelompok tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di tempat yang berbeda.
      Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat) yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada. Sedangkan tata rias memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir & kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning (koneng ngamennyor).

    Sedangkan untuk mempercantik penampilan, maka di atas kepala di pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan yang di bawa oleh pengiring.
    Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin di tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung, berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil berjalan para pengiring melantumkan syair,
  • Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.
  • Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
  • Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
  • Nanganang nganang nong dhe’
  • Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
  • La sayomla haeto lillah
  • Ya amrasol kalimas topa’
  • Haena haedhang haena dhangkong
  • Pangantanna din ba’aju din tamenggung
  • Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
  • Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
  • Pangantan ka’imma pangantan
  • Mantan loji pamaso’a ka karaton
  • Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
  • Aeng tase’ bang kambangan
  • Dhu panarema, dhu panarema
  • Balanjana saare korang
  • Bidaddari le’ bidaddar kong
  • Nase’ obi le’ kowa lurking
  • Ban-gibannna le’ nase’ jagung
  • Pangerengga le’ pate’ buttong
  • Ya, hadirin tore so’onnagi
  • Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
  • Ya salam, ya salam
  • Kitab suci dah lama-lamanya
  • Kini pengantin lah tiba lah tiba
  • Kepada kawan-kawanku semua
  • Mudah-mudahan berjumpa lagi
  • Tan-taretan sadajana e dalem somana
  • Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
  • Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
  • Olle tetep Islam ban Iman
  • Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
  • Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
  • Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
  • Pangantanna din ba’aju din tamongkong
  • Jas Turki pakaian celana puti
  • Aan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
  • La bu’na mela, ajam pote
  • Cocco’ sengkang e soro pajikaran
  • Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.”
    Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait “Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang”, bahwa syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat, kalimas topa’”, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.

 

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten
    Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat, “Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri masjid Jamik dan keraton Sumenep).
    Rentetan Peristiwa Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
    Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan tentara Bali ketika menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon ta’ nondhe’ jaga jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke laut (jaggur, sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami kekalahan, dan kemudian sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran. Daerah pemukiman yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya tersebut dinamakan Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih dijadikan acara ritual, yang dikenal dengan ritual “Nyadar.”
    Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan meramalkan masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, “Haena haedhang haena dhangkong”, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan masuknya sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang di bawa oleh penjajah Belanda tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung Sumenep.
    Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, “Pangantan loji pamaso’a ka karaton”, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah, ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat, “pangantan, ka’ imma pangantan”, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran) ?
    Kalimat, “aeng tase’ bangkambangan” (air laut mengambang). Makna pada kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang berasal dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang bukan berasal dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka muncullah pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan oleh Raden Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, “duh panarema, duh panarema”, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati dan lapang dada.
    Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati merubah peraturan dan adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak peristiwa perampokan terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng Pati, mengalami krisis ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami masa-masa pahit, dan itu menyebabkan rakyat hanya mampu makan, “nase’ obi kowa lorkong”, artinya makan ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).
    Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu oportunis, KKN, dan ABS. peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga pate’ buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
    Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya dari keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme mulai menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih memakai sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian rakyat, sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng Salamet, ya salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat keselamatan, ya selamat, selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan Trunojoyo.
    Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”, yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.
    Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari sistem feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap, “tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat istiadat mulai berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar tetap Islam dan Iman.
    Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat pertempuran di Madura.
      Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, “pangantan ka’imma pangantan”, (

penganten

    (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos di serang Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
    Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, “jas Turki pakaian celana puti”, dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk terbuka sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai. Jas terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.
    Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, “Yam beranak etekla ayam pengantin baru sudah berjalan”. Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang tapi bukan dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya sebentar karena selalu terjadi peperangan.
      “La bu’na mela ajam poté”, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu, yaitu Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara Saod (1750-1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat, “cocco’ sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh tukang pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran Wetan, tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat rendah).

 

    Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari masing-masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain yang bersifat dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang terkandung merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang memiliki kekuatan politik serta kritik sosial pada jamannya.

Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian mengangkat ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan penciptanya (anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu ritual pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).

Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan, ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan, sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’ nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura, menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah, ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).

Kandungan Filsafat

Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna dimensionalisme dogma. Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufisme melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam kritik-kritik sosial pada jamannya.

Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat ritualisme dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki oleh pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada babak kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.

Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan. Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur berkonotasi dua pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan idealisme pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan) yang selalu didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil merah membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang melambangkan titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng haena dhangkong, masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.

Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada bait ke-8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang lain mengatakan, kalimat pakaian jas Turki merupakan singkatan bahasa Madura, yang ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang mengalami peristiwa tersebut.

Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat asal, akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan Jawa, hal ini merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan sesudah hidup. Pengertian masa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang Wung, masa kekosongan dalam awal azal.

Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan makrifat dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan tidak ada hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”, yang dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup, (“jaga berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah), berserah diri kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini menjelaskan filsafat periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat Darwinisme, yang digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan revolusinya Kal Mark. Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang periodeisme metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, tetapi yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”, karena ayam mengeram telur etek (bebek). Demikian antara lain kandungan filsafat yang tercakup dari bagian-bagian bait dan baris tertentu.

Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait ke-4 yang menyangkut ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang ilmu methaphisik. Dan bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya, yaitu tentang hakekat, “cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat paruh burung gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung makna kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik pada kunci pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti paruh yang bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa dorongan perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan dialektika dan romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran tasawuf.

Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan dan wacana yang memadai, karena makna yang terkandung didalamnya mengandung isyarat-isyarat yang sangat mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini memiliki akar budaya yang sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakatnya pada jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna kandungan dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu pendalaman. Namun untuk mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang berkaitan dan bersifat transendental.

Sumber : Media Budaya Madura