PANTAI CAMPLONG,SAMPANG MADURA

    PANTAI CAMPLONG,SAMPANG MADURA,YANG ALAMI Pulau Madura hanya sepelemparan batu dari Surabaya. Namun, pulau garam itu tak banyak dikenal orang Jawa. Citranya jelek. Kalau ada lawakan di televisi, guyonan antarteman, orang Madura selalu dijadikan contoh. Konyol.
    Kita tertawa. Saya tidak bisa membayangkan perasaan orang Madura saat mendengar guyuonan-guyonan khas Jawa Timur itu. “Saya sudah lama mau protes, tapi nggak bisa apa-apa. Image ini sudah telanjur beredar di mana-mana. Seakan-akan semua orang Madura begitu,” ujar Masuki M Astro, teman saya, wartawan Antara. “Ini semua bohong. Nggak ada di Madura kayak begitu,” tambah pria asli Madura itu.
    Nah, ternyata joke-joke yang ‘menertawakan’ orang Madura ini secara tak langsung mengurangi minat orang luar ke Madura. “Ngapain ke Madura? Ada apa di sana?” kata Junaedi, aktivis lembaga swadaya masyarakat di Sidoarjo. “Nggak keren. Hehehe…,” ujarnya ketika mendengar saya jalan-jalan ke Madura. Tapi saya tetap ke Madura karena memang saya suka laut dan pantai. Rumah saya di Flores Timur hanya sekitar 100 meter dari bibir pantai.
    Jalan-jalan ke Madura berarti menikmati pesona laut. Berlayar dengan feri dari Ujung [Surabaya] ke Kamal [Bangkalan] merupakan pengalaman yang asyik. Lalu, menikmati hutan bakau di sepanjang laut selatan. Alam Madura relatif asli karena, itu tadi, jarang dijelajahi orang-orang kota di Jawa. Sabtu, 31 Maret 2007, saya tur ke Madura. Di pesisir Camplong, Kabupaten Sampang, ada belasan wanita menjajakan buah srikaya. “Baru panen, Pak. Murah kok,” kata Fatmawati, pedagang srikaya. Buah khas Sampang ini memang segar jika dinikmati di tepi pantai nan sepi. Sayang, saya tak bisa bercakap-cakap lebih dalam karena [maaf] para penjual srikaya ini rata-rata susah berbahasa Indonesia. “Tak oneng, tak oneng,” kata Siti, kelas empat sekolah dasar. Tak oneng artinya tidak paham atau tidak tahu. Ehmm.. bahasa Indonesia, yang kata orang Barat paling gampang di dunia itu, ternyata masih dianggap sulit di Madura, tetangga Kota Surabaya.

Diam-diam saya bandingkan dengan remaja di Jawa Timur yang makin keranjingan bahasa Melayu Betawi dan mulai ‘lupa’ bahasa ibunya, bahasa Jawa.Di Camplong ada tempat wisata pantai. Diresmikan Gubernur Jawa Timur Soelarso, 22 Juli 1993, objek wisata ini diharapkan bisa mengangkat nama Kabupaten Sampang. Pantai masih asli, dihuni para nelayan. Laut tenang. Tidak terlalu dalam. Setiap hari libur, akhir pekan, pantai itu dipadati anak-anak dan remaja. Hari itu saya lihat pantai cukup ramai. Beberapa remaja pacaran di bawah pohon pandan. Gadis-gadis remaja Sampang pakai busana muslim, tapi cukup gaul. Suka foto bareng pakai ponsel. Pun berdua-duaan dengan sang kekasih. “Nggak ditangkap polisi? Sampang kan kota santri?” pancing saya.

    “Kenapa ditangkap? Anak-anak muda pacaran kan biasa. Masa, orang pacaran nggak boleh. Sampeyan ini bagaimana?” ujar Sutinah, pegawai Sampang Beach Cottage, kepada saya. Menurut Sutinah, anak-anak muda yang berwisata di Camplong selama ini tahu batas dalam pacaran alias cukup sopan. Untuk menarik wisatawan, pemerintah daerah bikin Hotel Wisata Camplong atawa Camplong Beach Cottage. Tersedia 30 kamar: standar 10 kamar, superior 9, de luxe 8, suite 3. Sutinah dan beberapa pegawai Cottage mengatakan, hotel di tepi pantai itu selalu ramai, khususnya akhir pekan. “Kamar-kamar sudah di-booking rombongan dokter dari Surabaya,” papar perempuan asli Madura ini dengan logat khasnya. Saya menginap di kamar 5, standar. Bangunan di atas tiang. Bahan kayu. Bersih. Televisi 14 inci. Kamar mandinya berhubungan langsung dengan udara luar. Air bersih mengalir deras.
    Rata-rata semua kamar di pondok wisata ini dihuni oleh ‘turis keluarga’. “Kami dari Sumenep, biasa bermalam di sini untuk refreshing,” kata Zainal kepada saya. Petang itu dia check-in bersama istri dan tiga anaknya. Selain tetirah, pria 50-an tahun ini mengaku senang dengan masakan khas Hotel Wisata: ikan bumbu rica-rica. “Yang dicari tamu itu, ya, rica-rica,” jelas Sutinah, pegawai Hotel Wisata Camplong.
    Malam menjelang, pantai Camplong gelap gulita. Untung, bulan purnama. Di jalan raya puluhan santri bersiap-siap ke luar kota untuk mengikuti pengajian. Saya dan seorang teman, asli Madura, jalan-jalan ke pantai yang gelap itu. Asyik juga pemandangan. Dari kejauhan terlihat cahaya lampu dari ratusan perahu nelayan di tengah laut. Cahaya kekuningan itu membentuk garis lurus di horizon.

Indah sekali. Di pantai sepi itu, tiba-tiba muncul anak kucing kurus mengeong-ngeong. Mungkin lapar. Terus terang, saya betah duduk berlama-lama di pantai, melihat para nelayan mengais rezeki di Samudera Hindia. Tengah malam baru pulang dan mencoba masuk ke ruang karaoke. Ternyata, 100 persen pelanggan menyanyikan lagu-lagu dangdut keras-keras. Suaranya fals. Tersedia bir dan aneka minuman keras lain. “Nggak ditangkap polisi? Kan haram?” pancing saya lagi.

    “Hehehe… Kok pertanyaan sampeyan sama terus. Apanya yang ditangkap? Kalau di hotel kan nggak masalah,” kata Sutinah, yang sudah dua tahun bekerja di cottage ini. Hmm.. ternyata ada ‘oknum’ polisi yang berkaraoke sambil menenggak bir, meski tidak sampai mabuk. Secara umum pantai Camplong sudah memenuhi syarat sebagai objek wisata keluarga. Hanya saja, manajemennya kurang bagus. Kolam renang dibiarkan rusak. Kotor, penuh sampah. Pemkab Sampang rupanya lepas tangan dan membiarkan saja berkembang secara tak terkendali.
      Tidak ada, misalnya, upaya mengajak orang luar menikmati laut. Sebetulnya, perahu-perahu nelayan itu bisa difungsikan untuk mengajak wisatawan main mata di laut. Atau, ikut bersama nelayan mencari ikan dengan tarif tertentu. Beda dengan pantai-pantai di Bali [Kuta, Sanur], kita tak diberi informasi apa pun oleh warga setempat.

 

    Pemandu wisata tidak ada. Di pihak lain, kondisi ini justru ada untungnya. Kenapa? Komersialisasi pantai, perdagangan suvenir, serta dampak negatif pariwisata tidak ada. Pantai ini tetap alami dan eksotis. Karena itu, kalau engkau mencari hiburan ala industri pariwisata, sebaiknya tidak usah datang ke Camplong.
    Tapi, sebaliknya, pantai ini tepat untuk pecinta eksotisme, pecinta alam yang masih alami.

SUMBER: KABAR MADURA.

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Bahasa Madura

Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 15 juta orang, dan…
Read More

MONUMEN KOTA SAMPANG

ORENG SAMPANG –Monumen Sampang, terletak di pusat kota Sampang sebagai titik 0 (nol) Kabupaten Sampang. Terbuat dari logam…
Read More

JALAN-JALAN KE GOA LEBAR

Goa Lebar merupakan ikon wisata Kabupaten Sampang Goa dengan kedalaman kurang lebih 100 meter  dari permukaan tanah dan…