“Lakona daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tmbana kajaba ngero’ dara”
(Daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang terluka tidak ada obatnya kecuali minum darah)
Carok selalu diidentikkan dengan harga diri, kekerasan, celurit, pembunuhan, dan laki-laki dewasa. Anggapan orang pada umumnya yang belum mengerti apa hakikat carok yang sebenarnya mungkin kurang lebih akan berpandangan seperti itu. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa carok tidak lepas dari semua hal itu. Akan tetapi, apakah carok, apa perbedaan antara kekerasan ini dengan kejahatan lain, kapan orang Madura mengambil keputusan melakukan ini, apa artinya bagi mereka, apa akibatnya bagi pelaku, korban dan sanak keluarganya serta mengapa hal ini ditoleransi bahkan kadang-kadang mendapat dukungan secara sosial budaya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sekiranya perlu diselami dan dipahami untuk dapat lebih jauh memahami carok secara keseluruhan.
Smith menyatakan bahwa carok telah ada di Madura sejak abad ke-19. Munculnya tindakan kekerasan ini oleh beberapa peneliti ditengarai dan dipicu oleh berbagai faktor yang dilihat dari beberapa perspektif pengamatan mengenai kondisi-kondisi yang ikut berperan sebagai penyebab carok. De Jonge antara lain mengemukakan bahwa tindakan carok di Madura tidak dapat dilepaskan dari sejarah politik pulau Madura ketika pemerintahan kolonial berkuasa sekitar abad ke-19. Touwen-Bowsma berasumsi erat dengan dua peristiwa, yaitu pemilihan kepala desa dan remo (suatu perkumpulan semacam arisan yang anggota-anggotanya terdiri dari kaum blater dan orang-orang jago). Sedangakan Smith sendiri memahaminya dengan memberi penjelasan dari aspek historis serta kekuatan-kekuatan struktural dan sosial.
Carok adalah institusional kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama, dan pendidikan. Carok lebih merupakan sebuah situasi yang tercipta dari proses perjalanan waktu yang sangat panjang. Hal ini kemudian turut mengkondisikan orang Madura seakan-akan tidak mampu untuk mencari dan memilih opsi atau alternatif lain dalam upaya mencari solusi ketika mereka sedang mengalami konflik, kecuali melakukan carok yang dianggap lebih memenuhi rasa keadilan mereka. Dengan kata lain, carok juga merupakan kekurang mampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa.
Sepertinya harga diri menjadi barang berharga dari apapun bagi orang Madura. Ketika harga diri dilecehkan mereka akan merasa malu jika tidak membalasnya atau mengobatinya. Dalam kebudayaan Madura carok cenderung dikaitkan dengan ungkapan “ango’an poteya tolang etembang poteya mata”, (lebih baik mati – putih tulang, daripada menanggung perasaan malu – putih mata). Bahkan ungkapan lebih tegas tambana todus, mate (obatnya malu adalah mati). Oleh karenanya, carok selain dibenarkan secara kultural juga mendapat legitimasi sosial.
Oleh sebagian pelakunya carok dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blater yaitu seseorang yang prilakunya selalu cenderung mengarah ke tindakan kriminalitas. Predikat sebagai jago merupakan kebanggaan tersendiri bagi para pemenang carok. Karena konsep kebudayaan antara lain mencakup pula sistem komunikasi, dalam arti antara pendukung kebudayaan saling mempertukarkan simbol-simbol budaya yang bermuatan makna.
Salah satu simbol dalam kebudayaan Madura (carok) yaitu celurit. Yang menarik adalah bahwa celurit yang digunakan sebagai alat atau senjata untuk carok ternyata terdiri dari berbagai jenis. Jenis celurit ynag paling populer adalah are’ takabuwan. Celurit yang banyak diminati orang Madura, khusunya di kawasan Madura Barat. Takabuwan diambil dari nama desa tempat dibuatnya, yaitu desa Takabu. Celurit ini merupakan campuran dari baja dan besi berkualitas baik. Badannya berbentuk melengkung mulai dari batas pegangan hingga ujung. Panjangnya mulai dari 35-40 cm dengan pegangan yang dicat hitam atau coklat panjangnya sekitar 7,5-10 cm. Celurit inilah yang selalu di bawa pergi untuk tujuan segala kemungkinan jika sewaktu-waktu terjadi carok.
Selain itu, ada pula yang disebut dang-osok. Celurit ini agak melelngkung, panjangnya sekitar 60 cm dengan panjang pegangan sekitar 40cm. Fungsi dari celurit ini hampir menyerupai are’ takabuwan yaitu untuk pertahanan diri. Senjata ini tidak dibawa berpergian melainkan di simpan di dalam rumah yang sewaktu-waktu dapat diambil dengan cepat jika diperlukan. Jenis lainnya seperti tekos bu-ambu, lancor, bulu ajam, kembang turi, monteng, sekken, lading peangabisan, calobirang atau biris, koner, larkang, dan tombak.
Menurut Hubb De Jonge pakar Antropoligis asal Negeri Kincir Angin menyatakan bahwa buku ini yang merupakan hasil suntingan dari disertasi A. Latief merupakan sebuah studi antropoligis-etnografis pertama dan sangat rinci yang melukiskan secara jelas baik aspek instrumental maupun aspek ekspresif tentang tindakan kekerasan. Lebh jauh lagi esensi dari karya A. Latief ini adalah memahami secara mendalam arti dan makna peristiwa carok dalam suatu lingkungan sosial budaya. Secara cermat A. Latief memperhatikan perspektif emik (deskripsi dari sudut pandang orang yang diteliti) dan perspektif etik (mendeskripsikan kebudayaab berdasarkan konsep-konsep antropologis) sehingga dapat menghindari bias etnosentrisme dan dapat melukiskan suatu kebudayaan dalam bentuk thick description.
Sumber :
Judul : Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
Penulis : Dr. A. Latief Wiyata
Tahun terbit : Cetakan II: Januari 2006
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Jumlah hlm : xx + 288 hlm
http://kancil-city.blogspot.com/